Tiga Sore Yang Dungu
Suara ombak terus memukul telinga. Tampak menghantam karang lalu pecah menjadi bulir-bulir udara, sebagian menerpa wajahku, membuat basah. Mungkin sebasah hatiku yang sedang digelayuti rasa tak tentu. Angin terus menghempas, kaki-kakiku yang kuselonjorkan ke karang-karang kecil juga terlihat mulai dingin dan pucat karena basah. Kapal-kapal melintas dengan sirine yang memekakkan telinga laut sore ini. Camar tak henti menjadi lukisan langit yang mulai keluar warna jingganya, berarak turun-naik membentuk formasi yang kerap berubah lalu hilang di sebelah timur yang daratan ini kemudian terlihat seperti sabit.
Ingatanku mulai bercengkrama. Benar-benar di luar dugaku. Tadi malam ia menghubungiku. Setelah perpisahan kami yang lama. Setelah ketika itu, semua menjadi pecah bagiku, berserak dan seperti tak mungkin lagi bisa menjadi utuh kembali. Ia mengajakku bertemu di sini, sore ini. Tempat yang berapa bulan yang lalu ia pilih untuk memutuskan rantai-rantai perasaanku dan membuatnya tak bisa di sambung kembali. Ucapnya waktu itu begitu menyayat hati sehingga aku merasa terbuang seperti dermaga ini.
Aku memang pernah menghabiskan hari-hari dengannya. Setelah perkenalan yang singkat dan entah waktu yang memang tak pernah bernama untuk kita ingat, ia dan aku tak perlu mengucap sepakat untuk bersama menghabiskan hari. Aku merasa nyaman berada di dekatnya dan ia juga mengatakan itu padaku. Sejak itu dialah yang kuasa mengoyak tabir pada setiap malamku, mengganggu tidurku, membuatku benar-benar menjadi perempuan, merasakan kegilaan tentang apa yang tak bisa kujelaskan dengan kata dan hanya bisa membuatku melepas senyum saat-saat sendiri mengingatnya. Aku merasa telah jatuh. Dan apakah itu cinta? Entahlah.
Sementara aku, aku tak pernah merasa punya kuasa padanya. Aku selalu merindunya dalam setiap denyut nadi. Saat-saat aku begitu sangat berharap, aku tak selalu bisa bertemu dengannya. Tidak, dialah yang tak selalu bisa bertemu denganku. Dan aku hanya bisa menerima kapan ia akan meledakkan rindu itu padaku. Setiap harinya, meski mungkin lebih banyak aku yang merasakan kecewa karena dengan segala alasan tiba-tiba ia tak jadi menemuiku yang telah begitu sangat berembun.
Pada akhirnya, memang ada yang harus kupaksakan mengerti tentang dirinya. Ada bentang jarak yang menyekat aku dan dirinya. Jarak yang ia dan aku abaikan sebagai sebuah batas di awal-awal kebersamaan kami, yang meskipun berkali-kali ia dan aku coba bunuh dengan segala cara, tetap saja tak pernah berhasil mendekatkan kami selayak kekasih. Terlebih jarak itu yang perlahan tapi pasti seperti ingin membunuh kami, perlahan juga aku akui, aku tak berdaya. Aku merasa bersalah. Aku sadari, aku dan mungkin sedikit ia yang menyebabkan jarak itu sendiri ada.
Menerima perpisahan darinya adalah saat terberat dalam hidupku. Semua terasa begitu cepat. Bagiku mungkin juga baginya. Ia tiba-tiba memintaku untuk melupakannya. Dan aku pikir mengapa begitu mudah ia mengatakannya sedang tanpa ia tau begitu sangat hangat ia berada dalam setiap harapan-harapanku. Bertengger sebagai satu-satunya sosok yang sangat aku kehendaki dapat menggandengku kepada senja. Apa mungkin karena jarak itu? Apa ia semudah ini menyerah? Aku mulai menerka, bermain dengan ego yang jujur begitu sangat menginginkan ia tetap ada untukku, juga ketakutan yang teramat sangat—jika ia pergi. Tetapi betapapun aku bisa menerima tetap saja ada yang kurasa tertinggal dalam diriku dan aku tak bisa serta merta melepasnya untuk kemudian aku wakilkan dengan kata ikhlas. Ketidak terimaan, terlebih bila teringat ketika malam itu ia membawaku pergi. Malam yang menyebabkan kami tersesat pada pagi. Gerimis mendinginkan tangannya waktu itu, kami terus menjelajahi panjang kota tanpa mau sedikitpun sia-sia. Karena kami tau saat itu adalah kesempatan paling merdeka buat kami dan kami tak tau apakah kami akan bisa mengulangi dan mempunyai kesempatan berikutnya. Aku memeluknya, melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Ada gemetar di jari-jari tangannya ketika jemariku menggenggamnya. Dan kami larut dan tersesat sampai pekat malam mulai memudar.
Benar sekali dugaanku. Aku tak pernah lagi punya kesempatan seperti malam itu. Semakin susah saja ia aku temui. Kalaupun bisa bertemu, ia hanya tersenyum dan menanyakan kabarku sebentar saja lalu buru-buru pergi entah kemana. Hatiku remuk. Oleng. Tak mengerti harus bagaimana. Satu-satunya cara untuk bisa ada dan merasa dekat dengannya adalah dengan menumpahkan segala ombak hatiku menjadi tulisan, puisi, seperti yang biasa ia ajarkan padaku. Hingga aku bisa mulai melupa, semakin lama, hambar dan sepi.
Dan sore ini aku harus menemuinya kembali. Setelah kecewa yang ia titipkan. Sebenarnya aku tak ingin lagi kesini. Dermaga mati yang menyaksikan rinduku mati. Sebab kesini hanya memulangkan segala kenang lalu menyayatku hingga berdarah oleh luka lama. Tapi, bayang wajahnya, jejak dan aroma tubuhnya yang menyihir dan membuat kakiku melangkah untuk tetap pergi menemuinya disini. Mungkin ini adalah sore yang dungu, tapi kenapa seperti ada yang mengembang bungah di dadaku. Seperti pertama mengenalnya.
***
Apakah aku harus tetap pergi menemuinya? Apakah ini tak salah? Aku terus saja di serang tanya sendiri. Kebodohan apa yang kulakukan ini? Kenapa aku harus menghubunginya semalam dan memintanya untuk menungguku di dermaga itu? Dermaga yang mati tapi tak pernah mati arti bagiku. Ah, gusarku makin menjadi. Aku bimbang sekaligus tak kuasa lagi menahan gejolak untuk kembali berjumpa dengannya, bersitatap, menukar gelisah sambil melihat kapal-kapal terapung, berlayar ke tengah laut dan saat itu ia pasti merebahkan kepalanya di bahuku sambil menunjuk ke arah kapal-kapal yang kemudian hilang di ujung pandangan.
Kebersamaan kami tak cukup panjang. Aku yang memulai semua ini. Dekat dan tak menamakan apapun tentang kebersamaan kami. Yang aku tau ia begitu nyaman di sisiku, setidaknya ia pernah bicara seperti itu dan akupun demikian. Kami telah menghabiskan hari demi hari sedemikian indah. Walaupun harus aku akui, aku dan mungkin juga ia yang pandai mencuri hari untuk dihabiskan bersama. Itu terjadi karena memang aku yang tak selalu bisa menemuinya. Aku tau ia kecewa saat seharusnya aku bisa berlama-lama dengannya tetapi kemudian aku harus pergi, itu terlihat jelas di wajahnya. Namun, setauku ia selalu bisa menerima, ya, meskipun aku tau ia tak sepenuhnya jujur tentang hal itu.
Ia gadis yang lembut. Sederhana. Dan yang paling aku suka darinya adalah karena ia juga menyukai puisi. Tapi bukan sepenuhnya puisi yang membuatku kemudian merasa nyaman bersamanya, Sikapnya yang penuh pengertian namun apatis, dan dingin yang membuatku penasaran untuk dekat dengannya. Lalu, ia mulai menjadi gambar-gambar dalam benakku. Ada kerinduan yang teramat sangat tak bisa ku bendung jika sudah ingin bertemu dengannya. Dan bila itu datang logikaku tak bekerja, apapun bisa aku lakukan untuk menemuinya barang sebentar.
Aku sudah terlanjur berjanji, dan kuputuskan aku tetap berangkat menemuinya. Perlahan dan hati-hati memacu motorku menuju dermaga. Dan seperti sekarang inilah yang aku katakan bahwa aku bisa tiba-tiba nekat untuk sekedar menemuinya. Aku tak menghiraukan perasaanku yang takut, merasa bersalah dan berdosa, ketika rasa itu datang, timbullah bahasa lain yang keluar dari jauh dalam diriku, bahwa bukankah jika cinta itu datang apa daya kita menolaknya? Dan sampai kapan hukum-hukum selalu mengekang kita? Ah, aku tak mau terikat. Aku ingin bebas dan aku yakin Tuhan sangat mengerti itu.
Lambat-laun semua keyakinan-keyakinanku terkikis dengan sendirinya. Bagaimanapun aku tetap sadar jika aku hanyalah mahluk yang juga tak sempurna. Keyakinan itu mulai habis. Terlebih saat ini kondisinya terbalik, setiap bersama atau bertemu dengannya ada hantu-hantu dosa yang menampakkan diri sangat jelas dan membuatku ketakutan. Kebebasan dulu yang kuagungkan bukan sebenar kebebasan yang aku rapal pada hidupku. Dengan berat ketika aku memiliki kesempatan berjumpa dengannya maka aku katakan agar ia bisa melupakan aku, menjauhkan aku dari mimpi, harapan juga hidupnya. Aku tau ucapanku ini pasti sangat terasa menyayat hati. Menenggelamkannya ke dalam kesedihan. Tapi, aku hanya memiliki pilihan ini agar semua kembali sediakala dan tak ada yang tersakiti.
Malam sebelum perpisahan itu aku mengajaknya pergi ke kota. Kami tak punya tujuan, jadi kami sengaja menyesatkan diri sepanjang malam. Seperti kunang-kunang. Ia terus memelukku. Menggenggam jemariku yang gemetar karena gerimis yang tak henti seolah ia tau bahwa ia yang bisa menghangatkanku. Kepalanya terasa begitu teduh bersandar di punggungku. Semakin erat ia memeluk seperti tak hendak melepasku atau sepertinya ia memang menyadari kesempatan seperti ini sulit untuk kami dapat, karenanya ia tak mau sia-sia menghabiskan malam itu bersamaku hingga dini yang dingin merebutku dari peluknya.
Berpisahlah kami dengan kesepakatan, setelah obrolan kami yang panjang di dermaga. Ombak mengalun menyaksikan ia terdiam lalu menjatuhkan air mata. Sore yang cerah itu menjadi mendung gelap bagi kami berdua, sebelum aku pergi meninggalkan ia sendiri bersama kesedihan, kekecewaan dan kemarahan. Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Aku pikir setelah ini hidupku dan mungkin hidupnya jauh akan lebih berwarna. Tak perlu lagi ada kebohongan-kebohongan dan kesempatan yang aku ciptakan. Dan semoga ia ikhlas menjalani ini semua.
Takdir Tuhan begitu misteri dan ghaib, betapapun aku berusaha menjalani kehidupan dengan semua yang aku rencanakan, jika Tuhan tak berkehendak putuslah segala upaya yang dilakukan. Mendadak aku merasa begitu sepi. Entah, tapi aku merasa asing dengan semua keterdiamanku. Dan muncullah ia kembali dalam memoriku. Seakan mengundangku kembali kepada kenangan silam, sesuatu yang sekian waktu berusaha ku kubur. Kadang aku merasa labil, terombang-ambing tapi aku tak pernah kuasa untuk melawannya.
Dermaga yang sama. Ia terlihat sudah di sana, mungkin sedari tadi menungguku. Takut. Khawatir dan gemetar untuk menemuinya. Seperti apa dan bagaimana ia sekarang? Apa ia tak akan marah padaku? Ah, sontak aku merasa menjadi manusia paling dungu sore ini.
***
Apa mataku tak salah melihat ini semua? Tidak, yang ku lihat ini memang nyata. Ia datang kemari untuk menemui gadis itu. Tapi siapakah dia? Apakah dia adalah jawaban-jawaban dari kegelisahanku selama ini? Apakah perubahan-perubahan sikapnya padaku karena dia juga? Beginikah ia membalas kesetiaanku? Dadaku bergemuruh hebat, seperti ada yang naik dan menusuk ke jantungku. Mataku memerah mungkin sebagai tanda bahwa aku tak percaya dan benar-benar muak melihat ini semua. Berat. Aku merasa ada yang tak kuasa lagi ku bendung dan ingin tumpah dari mata dan mulutku. Tapi, entahlah, aku tak sanggup untuk berkata-kata lagi. Semua seperti berakhir. Dasar bodoh, ia pikir ia bisa selalu membodohiku setelah keanehan-keanehan sikapnya di rumah. Ia mungkin terlalu percaya bahwa aku tak akan mencium ini semua, kelakuannya yang busuk. Dan tak sadar bahwa aku telah mengikutinya sedari tadi. Sudahlah lebih baik aku akhiri perjalananku dengannya. Pengkhianatannya ini sungguh keterlaluan. Apa ia pikir hanya ia yang bisa melakukan itu. Biarlah nanti ia rasakan bagaimana bila aku tinggalkan.
Ah, tidak, terlalu banyak hari dan kebahagiaan yang telah aku lewati bersamanya. Apa hanya dengan kesalahannya ini kemudian harus ku tukar dengan kesedihan si kecil. Mungkin benar aku bisa menahan dan memaksakan untuk melupa dan pergi darinya, tapi si kecil? Tidak, aku tak boleh egois. Lagipula sebenarnya aku juga tak benar-benar berani untuk berpisah darinya. Ah, sial. Brengsek! Kenapa harus aku yang mengalami dan tak berdaya menjalani ini.
Aku putuskan pulang. Meredam dan menahan semua sesak dada. Dan berusaha tak tau dan tak terjadi apa-apa tentangnya dan juga sore ini, sore paling dungu dalam hidupku.
0 Response to "Tiga Sore Yang Dungu"
Posting Komentar