Mawar Putih


Aku duduk di taman sekolah. Aku sedang memandang sebuah bunga yang sedari tadi menarik perhatianku.
Bunga mawar, berwarna putih. Bunga kesukaan aku ini mengingatkan aku pada seseorang.
Tiba-tiba seseorang mengagetkanku.
“DOR!! Hayooo ngelamunin apa?” goda Hian, mencolek bahuku.
“Hehe… siapa lagi kalo bukan Kak Putra,” jawabku cengengesan.
“Ya elah, lupain ajalah, dia udah tenang di sana…” Hian memandang ke atas.
“Emang ada apa di atas?” tanyaku, sok polos.
“Ada awan, ada burung, ada pesawat, ada Kak Putra lagi liat kita” Hian mencoba menghiburku.
“Hahaha! Bisa aja lo An,” aku memandang bunga itu lagi.
KRIIINGGGG!!
Bel masuk telah berbunyi. Aku mencoba menghilangkan tentang Kak Putra dari benakku, yang penuh dengan masalah tugas sekolah.
“Udah bel, yuk ke kelas,” Hian menarik tanganku.
“Iya,” aku masih memikirkan sesuatu.
“Na, lo kalo kangen, entar kita ke tempat dia,” Hian mengerti apa yang aku rasakan.
“Iya, Hian. Makasih perhatiannya,” aku mencoba tersenyum.
Fiuh! Aku hampir saja menangis, hanya gara-gara kakak kelas SMP aku dulu. Kalau dulu aku tidak kenal dia, mungkin sampai detik sekarang aku tak akan pernah memikirkan tentang dia.
Selama pelajaran berlangsung, aku terus memikirkan kejadian yang terjadi tiga bulan lalu. Aku masih trauma akan kejadian itu. Dan aku masih memikirkan itu.


SMP Jaya 3
Hari ini Hari Selasa. Hari yang paliiing ku benci. Karena pelajaran hari ini sangaaat membosankan. Hian, sahabatku dari kecil, mengerti apa yang aku rasakan dan pikirkan.
Hian memang punya indra ke enam. Dia mempunyai feeling tentang aku, bahwa aku akan mendapatkan kejadian yang menyedihkan.
Saat istirahat, dia memberitahuku dengan suasana agak mencekam.
“Nanti sore, ada kejadian sesuatu yang buat lo sedih seumur hidup,” kata Hian, dengan serius.
“Emang apaan?” aku bertanya agak hati-hati, karena omongan Hian sangat serius.
“Liat nati sore aja, tapi gue gak tau pasti kejadian ini bakal terjadi apa enggak, gue kasian ama elo Ren,” Hian memandangku dengan mimik khawatir.
“Kasih tau dooong!! Hian kece, tajir, baik, keren, pujaan banyak cewek deeeh,” rayuku.
“Nanti lo juga tau, jigong harimau,” Hian memeletkan lidahnya.
“Kampreeet!” aku mengejar Hian yang sudah kabur duluan.
“Nanti lo jadi sediiih cuyuuung,” Hian mengelus rambutku.
“Biarin! Gue pengen tauuuuu ih bete gue sama lo,” aku pura-pura ngambek.
“Rena Devani, mental lo gak bakal kuat,” Hian kali ini serius.
Aku langsung terdiam. Emang apaan, sih, sampe muka Hian sebegitu serius dan khawatir tentang gue, kataku dalam hati.
Aku tidak memikirkan omongan Hian, sampai kejadian itu datang.
Sore harinya, aku sedang duduk di taman belakang rumah. Tiba-tiba, pembantuku, Mbok Eti, memanggilku.
“Non Rena, ada Putra, tuh, dateng,” Mbok Eti memanggilku dari dalam rumah.
“Iya, Mbok, suruh masuk aja,” jawabku, sambil terheran-heran.
“Katanya dia lagi buru-buru, di suruh cepetan, Non,” Mbok Eti melihat ke luar rumah, apakah Kak Putra masih ada atau tidak.
“Iya, iyaaaa…” aku langsung berlari-lari kecil ke depan rumah.
Tumben, Kak Putra buru-buru. Biasanya dia gak biasa dateng sore. Apalagi hari ini dia ada latihan basket. Pikirku sambil heran.
“Ada apa, kok kamu gak latihan basket?” aku bertanya sambil heran.
“Hem… Ren, ini ada bunga buat kamu, ini bunga kesukaan kamu, mawar putih,” Kak Putra turun dari motor ninjanya, dan memberikan bunga itu padaku.
“Ya ampun, makasih ya, Kak, kok ngomongnya terengah-engah gitu? Ngomong-ngomong muka Kakak pucet banget, Kakak sakit? Udah nginep aja di rumah aku,” aku melihat mukanya begitu pucat dan nafasnya sangat lelah.
“Aku gak apa-apa, sayangku yang kebo. Muah!” tiba-tiba dia mencium keningku.
“Jangan nangis, dong, sayang,” dan Kak Putra memelukku.
“Kakak… hiks…” tiba-tiba saja aku menangis.
“Rena sayang, Kakak mau pergi dulu ya, kamu jangan nangis, Kakak sayang banget sama kamu, Rena Devani, udah dong nangisnya,” Kak Putra tampak khawatir melihat tangisku lebih keras.
“Emang, Kakak mau kemana?” aku mencoba berhenti menangis.
“Dek, Kakak ada urusan, Kakak harus pergi sekarang,” Kak Putra memakai helmnya, dan menyalakan mesin motornya.
“Kak, hati-hati ya, aku sayang juga sama Kakak,” kataku, mencoba untuk tersenyum. Namun, dia sudah pergi mengebut, membawa motor ninjanya.
Dan kemudian dia pergi, meninggalkan aku. Aku masih berdiri, sambil memegangi mawar putih pemberian Kak Putra, melihat dia sudah jauh, sampai di ujung jalan.
Aku langsung menutup pagar rumah, kemudian masuk ke rumah dan ke kamarku. Lalu menaruh mawar itu di vas meja belajarku. Tiba-tiba ponselku berdering. Dari Hian. Aku mengangkatnya.
“Apa?” tanyaku, dengan suara serak.
“Seperti yang gue bilang tadi, ada kejadian yang bakal nimpa elo sore ini, tepat kayak omongan gue tadi. Kak Putra…” Hian ragu melanjutkan kalimatnya.
“Kak Putra kenapa? Barusan dia ke rumah gue,” jawabku, dengan polos.
“Serius?!” Hian tampak kaget di sebrang sana.
“Serius gue, emang Kak Putra kenapa?” aku semakin penasaran.
“5 menit yang lalu, dia kecelakaan, terus udah di bawa ke rumah sakit. Dia kritis, Ren,” Hian agak sedih menjelaskan keadaan Kak Putra saat ini.
“HIAN! TADI DIA BARUSAN KERUMAH GUE, AN!” aku berteriak pada Hian. Hian sudah mengerti segala tentang aku.
“Rena, tolong dengerin dulu, gue belom selesai ngomong,” Hian mencoba menenangkan diriku yang mulai marah dan sedih.
“Dan Kak Putra udah ga ada, Ren,” Hian berhenti berbicara.
Aku terdiam. Dan air mataku mulai meleleh. Rasa sesak yang ada di dadaku sudah keluar di iringi tangisku yang mulai pecah.
Dan aku menutup ponselku, dan melemparnya ke tempat tidurku.
Kak Putra!
Esoknya, aku dan Hian pergi dengan naik mobil Hian, ke tempat pemakaman umum di daerah Jakarta Barat. Selama perjalanan, aku tak berbicara sepatah kata pun. Hening dan sunyi, suasana di mobil. Hanya aku berdua.
Sesampai di sana, Kak Putra sedang di makamkan. Aku hanya dapat menangis dari jauh, di bahunya Hian. Hian hanya mengelus kepalaku, dan bersama kami berdua menatapi kepergian Kak Putra.
Kak, semoga lo bahagia di alam sana…

“RENAAA!!!” teriak Hian di telingaku.
“Ngeh? Gue dimana? Gue siapa? Lo pembokat gue?” tanyaku bertubi-tubi.
“Sialan, lo tadi pas pelajarannya Pak Kumis Galak, tiba-tiba lo nangis, dan sempet pingsan. Mana tadi lo pake acara ngelamun segala lagi,” Hian menjitaki keningku.
“Kampret,” kataku pada Hian.
“Lo kalo mau ziarah ke tempat Kak Putra, entar aja pulang sekolah. Bentar lagi juga balik,” Hian melihat keluar.
“Iya, An,” aku tersenyum.
“Udah yaa, Rena cuyung. Jangan cedih eaa,” Hian mendadak alay.
Bel pulang sekolah berdering. Hian mengeluarkan mobil Ford keluaran terbaru.
Aku membuka pintunya, dan masuk ke dalam mobilnya.
Sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan Kak Putra. Hian mengerti, jadi dia mendiamkan aku.
Sesampai di TPU daerah Jakarta Barat, kami berdua membeli sekantong bunga, dan sebatang bunga mawar, berwarna putih.
“Kak, ini mawar kesukaan gue, lo yang tenang ya, di sana. Jangan khawatirin gue, Kak, ada Hian, sahabat gue dari kecil yang menghibur gue,” aku sempat melirik Hian yang cengengesan.
Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Sadar, Ren, jangan nangis! Teriakku dalam hati.
“Udah tenang, belom?” Hian melihat wajahku.
“Udah, nyari makan yuk, gue lafer kakaaak,” jawabku, sok gaul, sambil mengelap air mataku.
“Owkeh duweeeh dedeeek,” Hian berubah alay.
Kak, jangan sedih ya. Semoga elo tenang, Kak, di atas sana. Gue sayang elo, Kak…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Mawar Putih"

Posting Komentar