‘Koridor itu, mempertemukan aku dengannya, sesosok bidadari cantik yang mungkin sengaja turun ke bumi’
Masih jelas ku ingat saat pertama kali kami bertemu. Di sebuah
koridor gelap, dan masih sepi. Ia terduduk sendiri di bangku panjang
dekat Ruang Guru. Dari arah gerbang, aku memperhatikannya. Oh ya,
ternyata dia murid baru yang sudah sejak satu minggu yang lalu kabarnya
santer terdengar.
Aku tetap melangkah dengan mata yang licin bergerak melirik kearahnya
saat aku melintas dihadapan gadis itu. Namun sama sekali ia tak melihat
kearahku. Ia terpaku pada sebuah kumpulan kertas dalam bentuk buku yang
cukup tebal yang ia bawa, mungkin ia hobi membaca novel. Sampai ku
lihat sesosok pria berkumis mengenakan jas hitam dan sepatu mengkilap
mendatanginya. Ya, aku sengaja duduk di bangku dengan jarak kurang lebih
3 meter dari gadis itu.
Terlihat pria itu sedang menanyakan sesuatu. Aku mencoba sedikit
menguping pembicaraan mereka. Tapi tak lama, gadis itu beranjak dari
duduknya dan bergegas melangkah. Sedangkan (mungkin) ayahnya -pria
berkumis tadi- meninggalkan koridor ini.
Hey! Ia melewatiku!
Cantik. Itu kesan pertama saat aku melihatnya. Beruntungnya aku bisa melihat tag name yang ia kenakan.
“Raisa Lesmana” eja ku lirih. Gadis itu berhenti sejenak, lalu menoleh
ke arahku. Helaian rambut panjangnya terkibas pelan. Hhh.. Sungguh
sempurna bak bidadari yang turun ke bumi, atau mungkin bidadari yang
tersesat di bumi.
“ya?” ah, sial! Dia mendengar bisikanku. Sejenak aku sedikit mengumpat di dalam hati. Bagaimana aku harus menyikapinya?
“hah.. emm, Tidak. Kau murid baru ya?” Semoga saja aku tidak terlihat salah tingkah.
“iya, kebetulan sekali aku bertemu denganmu. Maaf sebelumnya, bisakah
kau antar aku ke ruang kepala sekolah? Aku belum begitu paham tentang
sekolah ini.” Mimpi apa aku semalam?! Hingga kini dimintai tolong oleh
sesosok bidadari cantik seperti dia.
“ah, ya tentu saja. Mari aku antar”
“terimakasih. Omong-omong, siapa namamu?” sembari kami berjalan
lamban, ia membuka obrolan di antara kami berdua. Tentu saja aku
menyambut pembukaan itu dengan senang hati.
“aku Elang Stevanditya. Bisa kau panggil El atau Elang.”
Obrolan kami berlarut. Tak disangka kami begitu cepat akrab. Hanya dalam
hitungan menit, kami sudah saling mengenal dasar sebagian dari
kehidupan kami.
—
‘Kau begitu mempesonaku, mengindahkan segala kekuranganmu di mataku’
Tiga bulan sudah kami bersama, dari mulai saling mengenal – berteman –
hingga menjadi sepasang sahabat yang sering di anggap ‘Teman Tapi
Mesra’ oleh orang-orang yang melihat kedekatan kami berdua.
Tak jarang kami sering menghabiskan waktu bersama. Makan siang,
jalan-jalan, menemani nya hunting novel, belajar bersama. Yaa, semua hal
itu sering kami lakukan hampir di setiap hari. Di sekolah pun kami
sering digosipkan menjalin hubungan special . Tapi, kami tak terlalu
memerhatikan hal itu.
Aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri, begitu pula dengannya
yang sudah memandangku seperti kakaknya. Namun, di lubuk hati ku yang
terdalam, aku mengharapkan lebih dari sekedar ini. Lebih dari apa yang
kami punya selama ini.
“El, kau tahu, aku ingin sekali mencoba hal yang dinamakan berlarian;
berkejar-kejaran?” Tanya Raisa saat kami singgah di sebuah taman
bermain dekat dengan komplek rumah nya. Pertanyaannya ini membuat
sepintas kebingungan melintas di pikiranku ‘memangnya dia tidak pernah
bermain kejar-kejaran? Atau hanya untuk sekedar berlarian?’
“Hey! Aku sedang bertanya El.. Bisakah kau menjawab pertanyaanku,
agar aku tak terlihat gila karna ternyata sedari tadi aku bicara
sendiri? Huhh” lanjutnya, aku melihat ia sedikit memajukan bibir
tipisnya. Kalau boleh jujur, dia tampak sangat lucu sekali apabila
ekspresinya sedang kesal.
“Eh, maaf. Emm, kau ini aneh ya. Seperti tidak pernah merasakan
berlari saja” aku hanya menunjukkan kesan yang bisa di bilang heran.
“Ya, aku memang tak pernah ditakdirkan untuk bebas berlari. Sekalipun
berlari, itu hanya berlari kecil saja, bukan berkejar-kejaran seperti
mereka” mata indahnya melirik anak-anak kecil yang sedari tadi bermain
kejar-kejaran mengelilingi bangku taman di sebelah kami. Namun setelah
itu, matanya terlihat berkaca.
“Kenapa kau ber-argumen seperti itu? Semua orang bebas untuk berlari.
Bahkan jika mereka ingin berlari lalu terjun ke dalam jurang yang curam
pun mereka bebas melakukannya. Tak ada larangan secara hukum.”
“Tapi tidak untukku. Aku ditakdirkan terlahir berbeda dengan kau,
dengan mereka – anak-anak kecil itu -. Jantungku amatlah lemah, itulah
sebabnya aku sama sekali tidak mengikuti hampir seluruh kegiatan
ekstrakulikuler dan olahraga berat di sekolah. Aku tak boleh kelelahan,
tak boleh terkena angin malam. Tapi aku ingin merasakan semua itu, semua
yang pernah kau rasa, semua yang pernah mereka rasa, semua yang belum
bahkan mungkin tidak akan pernah ku rasa.” Aku mengusap lembut
airmatanya yang jatuh bebas ke tanah di akhir pembicaraannya
“Maaf, aku sama sekali tak bermaksud membuatmu seperti ini. Maafkan
aku Raisa..” ia hanya mengangguk pelan. Aku mencoba mendekapnya. Aku
tahu, ini yang ia butuhkan sekarang. Ku dengar suaranya yang terisak
pelan dalam dekapanku.
“Apa kau menyesal telah terlahir seperti ini, Raisa?” lagi-lagi ia
hanya mengandalkan sebuah anggukan sebagai jawaban atas pertanyaanku.
“Bagaimana jika kau ikut aku sekarang? Aku yakin, kau akan merasa
senang datang ke tempat yang akan kita tuju.” Aku mencoba menghiburnya
dengan mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang sudah tiga minggu ini
tidak aku kunjungi.
“Kemana?” Tanyanya. Suaranya terdengar sedikit serak.
“Akan aku beri tahu, asalkan kau mau tersenyum dulu sebelum kita pergi” dia terdiam sejenak.
“Ayo, mana senyumnya?” lanjutku. Tak berapa lama, ia tersenyum. Aku merasa puas sekali setelah melihatnya tersenyum seperti ini.
“Nah, jika kau tersenyum seperti itu, bidadari-bidadari di kahyangan pasti iri melihat manis senyummu.”
“Ah, kau ini El.. selalu saja berhasil menjebol pertahanan senyumku”
dia memang begitu cantik. Dan dia selalu mampu membuatku terpesona.
—
Sesampainya disana, aku mengajak Raisa mengelilingi tempat tersebut.
“nah, ini tempatnya. Aku sering kesini sendiri, atau biasanya bersama Aldy dan Denas -sahabat-sahabatku yang lain-.”
“semacam panti asuhan ya?”
“iya, bisa di bilang seperti itu. Tapi hebatnya, disini bukan panti
asuhan biasa. Kebanyakan dari mereka -anak-anak di panti ini- terlahir
tidak sempurna.”
“seperti aku?” sepertinya kesedihannya mulai berkurang
“iya, bahkan ada yang lebih parah darimu. Tapi mereka punya semangat
hidup yang sangat tinggi. Meskipun mereka tau, sakit yang mendera tubuh
kecil mereka tak bisa disembuhkan.” Aku melirik ke arahnya, aku lihat
dia tengah berpikir keras
“maka dari itu, aku mengajakmu kemari. Agar kamu tahu, hidup memang
tidak pernah bisa sempurna seperti yang kita inginkan. Tapi kita harus
selalu bisa membuat semua yang ada di hidup ini sempurna. Dengan rasa
syukur dan berusaha. Hanya itu kuncinya.” Lanjutku.
“terimakasih El, hanya kamu yang bisa membuatku semangat menjalani hidup dan untuk selalu tersenyum” ia memelukku erat
Aku melepas pelukannya.
“Emm, sebaiknya, kita segera menemui ibu panti. Kurasa hari mulai
gelap, aku takut angin malam mengusikmu nanti” ia hanya tersenyum. Aku
menggandeng tangan kanannya. Lalu membawanya bersamaku menuju ke ruang
pemilik panti ini.
‘Raisa, seandainya kamu tahu, ada tidaknya penyakit di tubuhmu itu,
tak akan pernah bisa menghilangkan barang sejengkal pun kesempurnaanmu
di mataku’
—
‘Seandainya kau bisa mengerti akan rasaku padamu..’
“selamat pagi Nona Raisa…” itu hanya satu dari sekian kata yang
sering kuucapkan padanya saat memasuki kelas. Ia tersenyum, tapi tak
terlihat seperti biasanya. Ada apa dengan dia? Sakit kah?
“kau sakit ya? Tak terlihat seperti biasanya” aku segera menghampirinya, lalu dengan cepat tanganku mendarat di dahinya.
“badanmu tidak panas, tapi..” ia menyingkirkan tanganku dari dahinya.
“karena aku memang tidak sedang sakit Elaaang. Aku biasa-biasa saja
kok” ucapnya meyakinkan ku. Tapi tetap saja aku tak bisa ia bohongi
dengan mudahnya.
“jika ada masalah, aku mau mendengarkan keluhanmu. Walaupun belum
tentu aku bisa membantumu mencari jalan keluar, setidaknya aku bisa
menjadi pendengar setia bagimu.” Aku duduk di sampingnya. Berharap ia
mau menceritakan sesuatu.
“Mike, dia mengutarakan perasaannya padaku semalam. Ia datang
kerumahku, dan langsung meminta izin untuk menjagaku pada ayahku. Tentu
saja ayahku setuju, bahkan oma pun ikut setuju.”
JDERRR!!!
‘Mike? Anak tengil itu? Mengutarakan perasaannya pada Raisa? Semalam?
Ayah dan oma Raisa setuju?’ rentetan pertanyaan itu secara tiba-tiba
muncul di otakku. Aku tengah berpikir, mataku terpejam sejenak, berharap
saat ku buka kembali, ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk yang tak
akan pernah jadi kenyataan. Tapi..
“Elang? Kau masih jadi pendengar setiaku seperti ucapanmu barusan kan?” ia menepuk pundak kanan ku. Lalu terhitung 1, 2, 3..
Ku buka perlahan mataku, dan sial! Ini semua memang kenyataan!
“ah, ya tentu saja. Lalu kau menerimanya?”
‘semoga tidak.. semoga tidak.. semoga tidak..’ diam-diam aku
menjerit di dalam hati. Semoga saja Raisa tidak menerima anak tengil itu
sebagai penghuni hatinya. Mau jadi apa dia kalau punya kekasih seperti
Mike yang tengil, sombong, bahkan banyak anak di sekolah ini yang tak
suka pada sifatnya. Bisa-bisa Raisa terkena stroke dadakan!
“belum. Aku belum menjawabnya. Aku bimbang El. Jika aku menolaknya,
aku tahu ayah dan oma pasti akan merasa kecewa padaku. Tapi jika aku
menerimanya, aku tak suka padanya, aku tak sedikitpun bisa merasakan
sayang yang tulus dari dirinya” mukanya ia tekuk dalam-dalam. Yap!
Setidaknya peluang untuk Mike di tolak Raisa ada.
“bagaimana menurutmu El?” ia memalingkan wajahnya ke arahku.
“menurutku… mungkin kau harus ikuti kata hati dan pikiranmu”
“Elang Stevanditya, kata hati dan pikiran itu, keduanya tak selalu
sejalan. Ada kalanya mereka bertentangan. Seperti aku sekarang” mimik
wajahnya memang terlihat bingung. Aku jadi kasihan padanya.
“kau kan bisa menjelaskan sikap Mike di sekolah pada ayah dan oma mu.
Mungkin dengan begitu, ayah dan oma mu akan mengerti perasaanmu.”
“itu jika mereka bisa percaya. Jika tidak? Apa aku harus memaksa mereka supaya mempercayai kata-kata ku?”
“ya tidak begitu maksudku” aku mencoba berpikir keras, bagaimana
caranya agar Raisa tak bersatu dengan anak tengil itu. Sungguh demi
apapun aku tak rela. Sekalipun aku jatuh cinta padanya, aku tak rela
melepaskannya pada lelaki semacam Mike. Sangat tidak rela!
“apa aku harus menerimanya? Tak mungkin juga jika aku harus menentang
ucapan ayah. Itu akan membuat beliau kecewa. Huhh, mungkin ini memang
sudah menjadi bagian dari takdirku. Harus menjalani sebuah hubungan yang
sama sekali tak pernah ku harapkan. Bahkan untuk sekedar
membayangkannya pun aku tak mau.”
Ya Tuhan..
Apa yang kurang dari ku Raisa? Apa? Katakanlah!!
Apa sikapku padamu selama ini sama sekali tak kau tangkap sebagai sebuah
sinyal cinta, Raisa? Aku harus bersikap bagaimana agar kau tahu
perasaan ini? Agar kau merasakan apa yang selama ini aku rasa, Raisa?
—
‘Mungkin sudah takdirnya kita tak bersama, tapi jangan tinggalkan aku..’
Hampir 5 bulan sudah hubungan mereka terjalin. Meskipun aku tahu,
bagaimana rasanya menjadi Raisa yang harus berpura-pura mencintai Mike.
Tapi aku tak berhak angkat bicara masalah apapun pada mereka.
“jujur aku lelah. Aku sudah lelah El, menjalani semua kebohongan ini” ia
menyandarkan kepalanya ke pundakku. Ia sedang sakit, (mungkin) hanya
sakit biasa. Karena jika aku tanya tentang sakitnya kali ini, ia hanya
tersenyum sembari menjawab ‘aku baik-baik saja, percayalah’
“mengapa kau tak mengakhiri semuanya saja? Toh, kau lah pemegang
kuncinya” aku berbicara sangat hati-hati. Takut-takut ia tersinggung
atau kecewa atas perakataanku tadi
“ya, memang aku akan mengakhiri semua ini. Aku sudah terlampau lelah
El..” ia mengangkat kepalanya dari pundakku, lalu menoleh ke arahku yang
sedikit bingung, kaget, tak percaya, dan cukup senang ku akui.
“tapi apa alasan yang akan kau berikan pada ayahmu nanti Sa?”
“aku akan menjadikan kepindahanku ke Singapore sebagai alasannya. Aku
yakin, ayah kali ini mau mengerti aku” ia nampak tersenyum, mungkin
tengah membayangkan kebebasannya nanti.
Tapi tunggu! Kepindahan? Singapore?
“maksudmu, kau akan pindah ke Singapore?” aku berbalik menatap
wajahnya, hanya bisa berharap semua ini hanya omong kosong dari salah
satu kejahilannya. Terkecuali niatnya mengakhiri hubungannya dengan
Mike.
“iya El, maaf ya aku baru mengabarimu sekarang. Aku akan pindah Senin lusa. Menunggu ayah selesai mengurus surat kepindahanku.”
“tapi Sa..”
“aku akan menjalani serangkaian operasi disana. Menurut dokter
Fransisca -dokter yang menangani Raisa sejak Raisa kecil- dengan
menjalani operasi ini, jika berhasil aku bisa bertahan dengan jantung
yang sudah cukup kuat. Bahkan beliau berkata, jika ini berhasil, aku
boleh merasakan yang dinamakan berkejar-kejaran” ia tersenyum bahagia
menjelaskannya.
Di satu sisi aku merasa senang, tapi di sisi lain, aku merasa
kehilangan. Bagaimana nanti aku melewati hari-hariku tanpa sosoknya?
Ssfff..
Aku menarik nafas panjang untuk melontarkan kata-kata ini. Teramat berat bagiku untuk mengatakannya.
“aku.. aku.. aku turut bahagia atas kabar ini.” Huuufff, lega sekali
rasanya bisa mengeluarkan gumpalan kata-kata sok tegar itu di hadapan
Raisa.
“berapa lama kau akan menetap di sana?”
‘tentu saja lama. Pertanyaan bodoh!’ aku mengumpat diriku sendiri dalam hati
“cukup lama. Dokter Fransisca berkata semua ini butuh proses. Dan
beliau memperkirakan aku harus menetap di sana setidaknya 4 – 5 tahun.
Waktu yang cukup lama bukan?”
hah?! Yang benar saja? 4 – 5 tahun? Itu tandanya aku harus menunggunya
selama itu? Err, belum sampai waktunya, sudah habis aku ditumbuhi lumut.
“jelas itu sangat lama, bukan hanya cukup lama Raisa.. 4 atau 5 tahun itu waktu yang sangatlah panjang.”
“hihi, kau kenapa? Tenang saja, aku pasti akan merindukanmu saat aku
sudah di sana.” Di saat seperti ini, masih saja ia sanggup untuk
terkikik
“bukan itu, tapi… Ahh” aku memeluknya erat. sedangkan ia masih saja terkikik. Dasar Raisa…!
“aku akan merindukanmu, bahkan sangat. Sayang, jarak antara Bandung
dan Singapore tak bisa di tempuh hanya menggunakan sepeda motor saja.
Jika bisa, aku pasti akan selalu mengunjungimu Sa. Membawakanmu bunga
mawar putih kesukaanmu setiap pagi, membawakan makanan favoritmu, mem..”
belum selesai aku bicara, ia sudah memotongnya.
“iya, iya.. aku mengerti, kau pasti akan sangat merindukanku, karena
pada dasarnya aku memang ‘ngangenin’. haha” pelukanku kian mengerat.
Raisa, kenapa kau harus pergi? Tak sadarkah kau, di sini ada hati yang akan merasa sepi?
—
‘Tak berakhir sia-sia lama penantianku..’
“selamat datang putri Raisa..” ucapku menyambut kedatangan Raisa di
rumahnya, bersama oma tentunya. Oma menunggu di dalam rumah, sedangkan
ayah Raisa segera membawa barang bawaan mereka ke dalam
“Elang?! Kau.. ahh! Aku merindukanmu!” ia berlari lalu dengan segera
memelukku erat. aku membalas pelukannya. Kemudian melepasnya
“kau terlihat lebih cantik Sa..” aku tak dapat menyembunyikan ke
kagumanku pada Raisa kini. Tak banyak yang berubah memang dari dirinya.
Namun tetap saja terlihat berbeda.
“kau berbeda sekarang ya! Ku rasa kau lebih tampan apabila rambutmu
kau biarkan sedikit gondrong seperti itu” aku mencubit tanganku. Aww!
Sakit! Ini bukan mimpi? Raisa berkata aku tampan? Huaaa, mimpi apa aku
tadi malam.
“oh ya? Kau bisa saja. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
“jauh dari kata kurang baik.” Ia tersenyum senang
“maksudmu, kau sudah sembuh?”
“tidak juga, tapi bisa dikatakan seperti itu, hampir.”
“syukurlah..”
Obrolan kami berlanjut, sembari kami melangkah pelan memasuki rumah Raisa untuk menemui omanya.
Di taman belakang rumah Raisa…
Setelah kami berdua mendapat izin untuk mengobrol di taman kecil di
belakang rumah Raisa yang cukup luas ini, kami duduk di sebuah kursi
panjang yang di sampingnya terdapat sebuah ayunan.
Aku sudah merencanakan ini sebelumnya, bahkan jauh-jauh hari sebelum Raisa pulang.
“Emm, Sa, aku ingin berbicara sesuatu padamu..” aku tahu bagaimana mimik wajahku sekarang. Terlihat kikuk pasti.
“tentang apa El?” ia menoleh ke arahku yang duduk di samping
kanannya. Aku menghadap ke arahnya, menyodorkan se-bouqet bunga mawar
putih kesukaannya.
“Raisa, aku tahu, cara ini sama sekali tak romantis. Tidak seperti
yang ada pada novel-novel cinta yang pernah kau baca. Tapi, aku hanya
ingin mengungkapkan sebuah kejujuran. Bahwa aku begitu menyayangimu,
lebih dari sekedar sahabat. Lebih dari sayang seorang kakak kepada
adiknya…” aku memotong ucapanku. Menarik nafas dalam-dalam.
“Raisa, would you be my girl?” huff.. semoga saja keringat hasil
salting ku tak menetes. Memalukan jika sampai terjadi. Seperti tak
pernah melakukan sebelumnya.
“Elang…”
“aku tahu aku sama sekali tak masuk dalam kriteria lelaki idamanmu,
tapi aku hanya butuh sebuah jawaban Raisa… untuk itu, aku minta kau…”
belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Raisa sudah memotongnya
“sssttt..” ia meletakkan telunjuknya di bibirku. Membuatku berhenti bicara.
“aku juga menyayangimu Kak Elang..” aku sempat merasakan sesak yang
cukup membuat dadaku sakit saat mendengar ia memanggilku dengan sebutan
‘Kak’
“aku menyayangimu, sebagai kakakku.. tapi juga lebih dari itu” ia
tersenyum, lalu melepaskan telunjuknya yang tadi menempel di bibirku.
Aku tersentak.
“apa itu artinya, kau…?”
“yes, I would!” jawabnya pasti. Refleks aku memeluknya sangat erat.
ahh, Raisa.. jika Tuhan menciptakan Juliet untuk menjadi ratu di hati
Romeo, lalu Tuhan menciptakan pula Nawang Wulan sebagai bidadari untuk
Jaka Tarub, maka aku yakin, Tuhan juga menciptakanmu untuk menjadi
sesosok bidadari penghuni hatiku. Bidadari yang tak bersayap…
~THE END